JAKARTA, rakyatsultra.id -- Polarisasi atau terbelahnya masyarakat karena perbedaan sikap politik bukan lagi dianggap mitos, tetapi nyata dan hidup di masyarakat Indonesia.
Hal itu terungkap dari data survei terbaru Laboratorium Psikologi Politik UI bertajuk "Polarisasi politik di Indonesia: Mitos atau Fakta" yang dilaksanakan di Hotel Bidakara, Minggu (19/3/2023).
Mengutip hasil survei Laboratorium Psikologi Politik UI, menunjukkan bahwa masyarakat terpolarisasi menjadi 2 kelompok dengan ukuran proporsional (43% vs 57%). Kluster 1 memiliki posisi relatif pada ujung spektrum kiri yaitu kelompok pro Jokowi yang relatif sekuler kearah moderat, puas terhadap kinerja pemerintah, relatif tidak berprasangka terhadap kekuatan ekonomi asing dan aseng. Sementara kluster 2 memiliki positif relatif pada ujung spektrum kanan dalam ideologi politik dimensi keagamaan.
Direktur Eksekutif Indo Barometer M. Qodari sepakat bahwa polarisasi bukan sekedar mitos tapi nyata di masyarakat. Ia mengungkapkan tiga variabel yang menimbulkan polarisasi politik. Pertama, pemikiran dan aksi para tokoh politik; Kedua, pembelahan (cleavages) di Indonesia; Ketiga, problem desain konstitusi soal ketentuan pemenang 50% +1 dalam pilpres.
Khusus tentang ketentuan pemenang 50% +1 dalam pilpres, Qodari menyebut hal itu sebagai problem desain konstitusi. Sehingga dinilai sebagai pemicu lahirnya polarisasi politik ekstrem di masyarakat.
“Jadi kita ini mohon maaf, saya melihat salah salah satu problemnya ada di desain konstitusi kita, dengan berat hati, di mana problemnya, di aturan mengenai pemenang pilpres harus 50%+1,” ujar Qodari.
Dikatakan Qodari, pada Pilpres 2024 mendatang meskipun diikuti oleh lebih dari dua pasang calon presiden dan calon wakil presiden, pada akhirnya akan mengkerucut menjadi hanya dua pasang calon.