BOGOR, rakyatsultra.id - Kementerian Pertanian kembali membuka pelatihan bagi petani dan penyuluh dalam menggunakan pupuk organik dan kimia secara berimbang. Pelatihan tersebut merespons masalah pupuk kimia yang saat ini kian mahal hingga menyulitkan para petani.
Kepala Badan Penyuluhan dan Pengembangan SDM Pertanian, Kementan, Dedi Nursyamsi menjelaskan, akibat dari dampak Covid-19, perubahan iklim, hingga konflik Rusia-Ukraina, harga pangan dunia melonjak. Namun nyatanya, dampak juga dirasakan terhadap kenaikan harga sarana dan prasana produksi pertanian, termasuk pupuk.
"Harga pupuk urea meningkat dua kali lipat, bahkan pupuk NPK, SP36 dan ZA itu naik tiga kali lipat. Oleh karena itu, Kementan kembali membuka Pelatihan Sejuta Petani dan Penyuluh dengan tema gerakan petani proorganik," kata Dedi dalam konferensi pers di Bogor, Senin (13/3).
Ia menjelaskan, kuota peserta Pelatihan Sejuta Petani dan Penyuluh kali ini disiapkan sebanyak 1,8 juta orang secara hybrid dari Balai Prajurit M Jusuf, Makassar Sulawesi Selatan dan akan dibuka pada Kamis (16/3).
Lebih lanjut, Dedi menjelaskan, pupuk setidaknya berkontribusi sekitar 15 persen hingga 75 persen terhadap produktivitas. Namun akibat harga yang mahal, petani menghadapi masalah untuk bisa menjaga produktivitasnya akibat pupuk yang mahal.
Selain mahal, Dedi mengakui produksi pupuk kimia di Indonesia kurang. Dilihat dari kebutuhan pupuk subsisi yang diajukan petani saja, rata-rata kebutuhan per tahun mencapai 24 juta ton. Sementara pemerintah, hanya mampu menyediakan 9 juta ton pupuk bersubsidi.
Pupuk Indonesia sebagai produsen pupuk terbesar, hanya mampu memproduksi pupuk kimia setahun sebanyak 14 juta ton, dengan pangsa pasar 12 juta ton di dalam negeri dan dua juta ton untuk ekspor.